Minggu, 06 April 2008

KAU HADIR DARI KETIADAAN, SAYANG!

Tidak meyakini kesempurnaan cinta, apatis terhadap bunga-bunga perasaan yang disemai Tuhan lewat special relation. Kehampaan makna bisa diatasi dengan buku dan aktivitas, “kataku suatu saat”. Dengan begitu kita hidup dalam sebuah ekstase rutinitas, berusaha keluar dari jargon cinta yang tak produktif. Asumsi-asumsi yang membuatku terus bertahan dalam kesendirian sampai beberapa tahun belakangan. Ironisnya, asumsi tersebut kemudian dipraksiskan dalam sikapku sehari-hari, dengan menolak sama sekali benih-benih cinta yang kadang tumbuh. Bahkan aku beranggapan cinta tidak lain merupakan bentuk paling halus dari nafsu kelamin. Cinta murni itu tidak ada, itu omong kosong yang mesti dibuang di keranjang sampah. Menikahpun tidak lebih dari kegiatan prostitusi yang dilegalkan. Pikiran ini terlalu picik untuk kenyataan, seolah-olah keluar dari konteks ruang dan waktu yang melingkupi, mencoba menutup segala kemungkinan yang terjadi dan terkesan memutlakkan asumsi dalam teoritisasi yang universal. Oh … Alangkah piciknya aku saat itu !!!

Kini dunia memperhadapkanku pada suatu realita yang sulit kuterima. Pilihan yang membingungkan. Cintakah? Atau Kesendiriankah?. Omong-kosongkah itu cinta, realitiskah itu kesendirian? Ataukah—seperti tulisanku terdahulu—kita hanya kecewa dengan kenyataan. Sampai-sampai mengkonstruk asumsi ini sebegitu jauhnya. Apakah cinta memang inherent dengan nafsu, apakah memisahkan nafsu dari cinta justeru mengindikasikan pemikiran yang reduksionis, seperti diktum Rene Descartes, Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Yang memisahkan antara pikiran dan tubuhnya. Bisakah manusia berpikir tanpa tubuh?. Otak maksudnya!

Kehadiran dikau menggugurkan asumsiku. Meruntuhkan semua bangunan pemahamanku tentang cinta dan kasih sayang. Engkau seolah datang dari ketiadaan, dalam kemisteriusan sebagai juru selamat atas kesesatan jalanku. Kesempurnaanmu, dimataku, mengantarkan aku dari keterpenjaraan mendobrak dari pikiran sempit hakikat cinta. Engkau setara dengan Jesus Kristus bagi umat nasrani, dan Budha Gautama bagi agama Hindu. Engkaulah penyelamat bagiku!

Dulu, yang ku pahami cinta adalah seks, penguasaan, dan egoisitas. Cinta bagiku hanyalah bersifat keduniawian semata, oleh karena itu aku menolak cinta. Tapi itu dulu, hari ini aku ingin berteriak mendeklarasikan kepada dunia, “Aku salah!”. Cinta itu luas, tidak ada definisi atau konsep baku. Membakukan definisi cinta berarti meng-Universalkan hakikatnya bagi setiap insan penikmat cinta dan bukan pemujanya.

Sayang, sengaja kutorehkan pikiranku disini agar dikau membacanya, menghayatinya, menginterpretasinya sepuas mungkin tanpa harus takut akan kesalahan penafsiran. Kubebaskan dikau menafsirkannya menurut versimu. Memaksamu menafsirkan sepertiku sama artinya dengan menyuruhmu tunduk terhadapku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Bukankah bahasa sangkar ada?. Kebenarannya terikat ruang dan waktu dan tidak mengherankan kalau Plato mengatakan “Kata-kata tidak akan pernah bisa dan mampu mewakili pikiran dan perasaanku”. Kata-kata itu lemah untuk sebuah kenyataan.

Apabila engkau telah membacanya, kusarankan engkau berpikir sejenak, sehari ataupun dua hari. Menghayati dan merefleksikan kembali dirimu. Apakah kehadiranku menjadi berhala baru bagimu. Aku tidak menginginkan itu terjadi. Aku terlalu naïf untuk kau kultuskan. Aku bukan Sang Hyang Widi. Tidak pantas bagiku dalam pikiran dan perasaanmu duduk setara dengan sang penguasa Ada, Ada yang tidak diadakan, ada yang berdiri sendiri, yang mutlak, kreatif dan tanpa definisi. Kuharapkan cintailah diriku sesuai porsi yang seharusnya, tidak berlebihan. Yang berlebihan itu tidak baik!. Cobalah tidak mencintai sepenuh hatimu, aku makhluk yang sewaktu-waktu bisa lenyap, menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku adalah kemisteriusan, dan engkau kemisteriusan juga bagiku. Kita sama-sama adaan, sama dengan lemari, kursi, panci, dll. Cuma kita punya kelebihan, sedikit. Yang bisa mempertanyakan masa lalu, mempermasalahkan keberadaannya, serta menyangsikan adakah diriku?. Tentu, kau janganlah sombong dengan predikatmu, tanpa palu, rumah, atau karena engkau anak……..tanpa rumah sakit, tanpa pulpen, tanpa adanya anak-anak kekurangan gizi, maka jelas tidak akan pernah ada dirimu. Seorang mahasiswi Gizi.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda