Minggu, 18 Mei 2008

pelajari

Kebangkitan nasioal memang tidak dapat dilepaskan dari aspek pendidikan. Pendidikan merupakan tonggak perjuangan bangsa menuju kemajuan peradaban. Tanpa pendidikan yang baik, tata aturan dan etika kehidupan akan kacau, krisis moral akan merebak, hingga menimbulkan gangguan sistem ekonomi yang mengarah pada kelumpuhan stabilitas negara. Indonesia, sebagai negara berkembang sangatlah urgen untuk memberi perhatian lebih pada bidang pendidikan yang sekarang jauh tertinggal dari negara-negara lain. Dengan meningkatkan bidang pendidikanlah, perkembangan pada bidang kehidupan yang lainnya akan tecapai hingga akselerasi kebangkitan nasional berjalan lebih cepat.

Sejarah Kebangkitan Nasional

Sembilan puluh sembilan tahun yang lampau, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi penggerak kebangkitan bangsa, Boedi Oetomo. Hari tersebut kemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kala itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air. Boedi Oetomo saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, Dr.Goenawan dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908 mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang mengharukan. Awal kebangkitan Nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Saat itu Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia, rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita.

Kondisi tersebut ternyata tidaklah lama. Orang-orang berpendidikan mulai unjuk amal. Mereka mulai bergerak menyuarakan hak-hak bangsa. Jumlah mereka pun semakin bertambah. Banyaknya orang pintar dan terpelajar di Indonesia kala itu merupakan salah satu factor munculnya kebangkitan nasioanl. Orang-orang terpelajarlah yang berperan sebagai pionir bagi masyarakat lainnya untuk sadar dan bersatu menuju kesatuan bangsa demi menghapuskan penjajahan Belanda. Saat itu orang-orang terpelajar mendirikan organisasi di setiap daerah. Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia. Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan kekuasaan yang sentralistik, merupakan gerakan moral sebagai lanjutan kebangkitan bangsa. Kebangkitan dari kebobrokan mental yang ada dalam pemerintahan RI. Kebangkitan dari kepincangan hukum yang tidak adil menuju tuntutan rakyat demi menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Memang zaman telah berubah, dulu , kini dan esok sangat berbeda, tetapi semangat dan perjuangan kemanusiaan dan kebangsaan yang terkandung dalam Hari Kebangkitan Nasional tidak terikat oleh ruang dan waktu. Indonesia sekarang ini sesungguhnya merupakan hasil dari suatu perjuangan bangsa yang amat panjang dan meminta korban yang amat besar, baik ketika berjuang untuk mewujudkannya, maupun ketika untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, pendidikan yang merupakan inti dari kebangkitan nasional perlu kita tingkatkan saat ini demi tercapainya kebangkitan nasional kedua menuju kemajuan global.

Wajah Pendidikan Indonesia Terkini

Saat ini, indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi yang membuat kemiskinan meraja lela dan krisis akhlak yang menimbulkan kriminalitas. Permasalahan ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun materi. Bila masalah ini tidak dikaji dan dibenahi secara serius, kemajuan negara yang didambakan akan lambat tercapai.

Pendidikan di negara ini perlu dibenahi lagi secara terprogram. Banyak permasalahan yang melanda apspek pendidikan di tanah air ini. Permasalahan itu dianatarnya menyangkut aspek ekonomi (anggaran), kurrikulum (materi dan system), dan atensi pada guru.

Anggaran dana pendidikan kita masih kurang. Pendidikan yang layak hanya mampu membina generasi-generasi tunas bangsa yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sementara mereka yang berasal dari strata bawah kurang mendapat perhatian pendidikan yang layak dan terprogram secara terstruktur. Dalam UU Nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 90,10 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN 2007 yang besarnya mencapai Rp 763,6 triliun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD RI 1945 yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. (data 18 Januari 2007). Jika anggaran pendidikan seperti ini, mana mungkin masyarakat yang berpendidikan akan tercipta? Mana mungkin proses kebangkitan bangsa akan berkembang pesat?

Kurrikulum pendidikan sekolah formal lebih banyak menekankan aspek teoritis generalis daripada aplikasi dan spesialisasi. Pendalaman terhadap ilmu pun hanya berkisar pada tataran idealis berdasarkan teori bukan kepada masalah realistis, sehingga pengembangan kreativitas dan keahlian bidang IPTEK berjalan kurang baik. Hal inilah menyebabkan bangsa ini kurang produktif dalam menghasilkan produk-produk teknologi.

Pembinaan akhlak yang berlandaskan pada agama pun masih kurang. Pelajaran agama terkadang hanya dipandang sebagai penambah wawasan tanpa diwujudkan dalam bentuk moral dan akhlakul karimah. Ingatlah pepatah, Knowledge is power but character is more. Ilmu pengetahuan adalah utama, tetapi karakter (moral) lebih utama. Dan moral akan terbentuk bila seseorang memiliki pemahaman agama yang komprehensif. Terasa hampa jika pengetahuan kita luas dan IPTEK maju tapi pribadi kita sempit, egois, dan jauh dari etika moral yang mulia. Adalah kewajiban kita membentuk karakteristik ilmu padi. Semakin tumbuh tinggi, semakin merunduk. Semakin tinggi pengetahuan semakin rendah hati dan menjadi teladan bagi masyarakat baik dalam segi pemikiran maupun tindakan. Inilah yang kurang terasa pada output pendidikan saat ini.

Permasalahan pendidikan lain yang terjadi pada masyarakat kita adalah kurangnya atensi dan penghargaan pada guru. Pahalal merekalah tulang punggung peradaban bangsa yang memberantas kebodohan yang melanda masyarakat. Adalah wajib bagi seorang guru untuk mendapat reward yang besar.

Dalam konteks persekolahan guru adalah ujung tombak. Guru memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa berlangsung. Mungkin itulah yang menjadi landasan pikiran bagi Ho Chi Min (bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan bahwa, No teacher No education. No education, no economic and social development. Begitu tingginya arti seorang guru bagi pembelajaran bangsa ini.

Bercerminlah pada Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu menggunakan bom atom sampai luluh lantah, Sang kaisar Jepang, Hirohito dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya kepada pusat informasi. Tahukah anda apa yang dia tanyakan? Kaisar Hirohito bukan menanyakan berapa jumlah tentara, tank, pesawat tempur, kapal perang yang ada atau jumlah aset negara yang tersisa. Tapi yang ia tanyakan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup? Luar biasa! Begitu fahamnya pemahaman sang pemimpin akan fungsi guru. Dia tidak khawatir Jepang akan hancur selamanya, karena guru masih banyak yang hidup. Memang tidaklah aneh, hanya dalam waktu yang singkat, Jepang sudah kembali seperti semula sebagai negara maju, berkat memaksimalkan fungsi guru.

Pendidikan indonesia harus segera dibenahi dan mendapat perhatian yang besar. Karena pendidikan adalah tonggak akselerasi kebangkitan nasional di era globalisasi ini. Kerja sama, analisa, dan dialog solutif perlu dilaksanakan oleh pemerintah dengan para pakar pendidikan, guru, scientist, ulama, dan pengusaha. Dengan usaha itu diharapkan permasalahan pendidikan (dana, kurrikulum dan sistem serta atensi pada SDM pendidikan) akan terpecahkan secara terprogram dan terstruktur. Jika hal ini berhasil, tidaklah mustahil kita, bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju minimal sejajar dengan negara-negara barat. (Aep Saepudin)


Liputan6.com, Jakarta: Bagi banyak orang Indonesia, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 mungkin yang terlintas di benak manakala berbicara sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Namun, sejatinya, sejarah kebangkitan dan perjuangan bangsa ini lebih panjang dan berliku.

Sejak tahun 1602, sebagian wilayah Indonesia yang dulunya berjuluk Nusantara di bawah kungkungan penjajahan bangsa Belanda. Perlawanan fisik bangsa Indonesia pun tak kunjung berhasil mematahkan Belanda. Dari era Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) hingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hingga akhirnya seratus tahun lampau muncul gagasan baru di benak seorang dokter bernama Wahidin Sudirohusodo.

Walau didikan Belanda, dokter Wahidin mempunyai visi besar memajukan bangsanya lewat jalan yang sama sekali berbeda, yakni pergerakan pemuda terpelajar. Ide ini kemudian dibawa kepada para mahasiswa Sekolah Kedokteran Stovia di Batavia--nama Jakarta pada zaman penjajahan Belanda. Lantas, berdirilah sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo. Dalam bahasa Jawa, budi utomo berarti usaha yang mulia.

Setelah mendirikan organisasi Boedi Oetomo, langkah selanjutnya yang diambil para mahasiswa Stovia adalah mengadakan kongres pada tahun 1908 di sebuah gedung yang sekarang menjadi Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Yogyakarta. Kota Yogyakarta dipilih karena latar belakang priyayi para pengurus dan anggota yang banyak mendapat dukungan pihak keraton.

Namun justru keterikatan tradisional macam inilah yang belakangan dianggap membuat Boedi Oetomo terlalu konservatif. Apa pun kontroversi yang berkembang, harus diakui bahwa Boedi Oetomo-lah yang berjasa memberikan inspirasi kepada para pemuda saat itu untuk bangkit.

Kelompok pemuda yang lebih progresif sebagian keluar, tapi sebagian lainnya mendirikan bagian khusus kepemudaan yang disebut Trikoro Dharmo. Dari konteks itulah kemudian berdiri Jong Java. Dalam perkembangan berikutnya berdiri sejumlah organisasi bercorak kedaerahan seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan Jong Batak. Boleh dibilang, saat itu semangat kepemudaan kemudian menyebar.

Kendatipun awalnya terpisah, pena sejarah kemudian mencatat para pemuda Indonesia akhirnya bersatu. Sementara di jalur politik pun muncul partai politik pertama negara ini: Indische Partij. Antara lain atas prakarsa dokter Cipto Mangunkusumo, salah satu pendiri Boedi Oetomo. Ini seperti penuturan rekannya dalam tiga serangkai yang juga pendiri partai, Ki Hajar Dewantara.

Tahun dan dekade silih berganti, gerakan perlawanan makin terorganisasikan dan berkembang. Indonesia perlahan makin mantap menemukan identitas bangsa.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

Kalau disebut Boedi Oetomo sebagai awal kebangkitan nasional ya
sesungguhnya nggak tepat, karena gerakan Boedi Oetomo itu nggak
lebih dengan kumpul-kumpul priyayi seperti Pakempalan Situ Danoejo
atau Asosiasi Pangeran Surakarta. Bahkan Boedi Oetomo kelak
dijadikan alat Belanda untuk mengoper priyayi agar ngerti politik,
disinilah Tjipto Mangoenkoesoemo marah besar dan menyatakan dengan
keras Boedi Oetomo tak lebih dari onderbouw pemerintah Hindia
Belanda.

Saya rasa Kebangkitan Nasional justru dilihat dari sebuah kesadaran
individu Wahidin Soedirohoesodo yang keliling Djawa naik sepeda dan
Kereta api untuk mencari anak-anak berbakat, Wahidin juga melakukan
penyadaran-penyadaran politik terutama di kalangan priyayi rendahan.
Sementara di Bogor, Mas Marco terus bergulat tentang sebuah konsep
perlawanan politik dengan kekuatan sastra dan koran yang kemudian
melahirkan apa yang dinamakan Pers Pribumi dan Batjaan Liar.

Kebangkitan Nasional 1908, tak lebih dari penafsiran Bung Karno di
tahun 1948 saat ia berbicara dengan anak didik Tan Malaka dan tak
lama setelah kedatangan Musso yang diantar Suripno. Bung Karno
menyatakan bahwa tahun 1908 adalah 'Hari Kebangunan Nasional' yang
oleh Yamin dibenarkan menjadi 'Hari Kebangkitan Nasional'. Tan
Malaka sendiri menurut beberapa pengikutnya yang saya dengar secara
lisan dari dongengan orang-orang tua menyatakan 'Hari Kebangunan Ala
Bung Karno, tak lebih dari hari Kebangunan orang Djawa, bukan
nasional Indonesia'. Semustinja yang disebut Kebangunan adalah
ketika mulai ada kesadaran Indonesia sebagai bangsa, dan itu
merudjuk pada Sarekat Islam yang menjebarkan bibit nasionalisme
dimana Sukarno sangat berperan berkat didikan Onze Tjip.

Tokoh yang disebut Pahlawan Kebangkitan Nasional tidak tepat bila
dinisbahkan pada Dr. Soetomo, tapi lebih tepat pada Onze Tjip.
Tjipto-lah orang yang berdiri dan menunjuk pada hidung elite Boedi
Oetomo bahwa organisasi ini tidak lagi progresif dan berguna bagi
kemajuan sebuah bangsa. Kemudian Tjip ke Djogdja dan bertemu dengan
Soewardi Soerjaningrat bersama seorang Mestizo bernama Douwes Dekker
mereka mendirikan Indische Partij bertepatan dengan Natal, 25
Desember 1912. Saya heran dengan tidak adanya perhatian lebih dari
gerakan ini, padahal gerakan inilah yang kemudian membangkitkan
dalam skala raksasa kesadaran nasionalisme, tulisan Suwardi
Soerjaningrat yang berjudul 'andai aku orang Belanda' yang
mengkritik perayaan kemerdekaan Belanda dari Spanyol telah menjadi
supply kesadaran nasionalisme.

Puncak dari penyebaran semangat nasionalisme adalah sebuah pertemuan
dua hari di Bandung dimana Bung Karno digembleng dua hari dua malam
oleh Dokter Tjipto. Penggemblengan itulah yang kemudian menyadarkan
Bung Karno bahwa kesadaran Nasionalisme merupakan asas dasar
perjuangan. Peran Dokter Tjipto ini jauh lebih penting ketimbang
Dokter Soetomo yang cenderung kooperatif dengan pemerintah, seperti
mendirikan partai konservatif Parindra,dan mau bekerja sama dengan
pemerintah Hindia Belanda pada saat semua tokoh pergerakan dibuangin
ke luar Jawa.

Momentum Kebangkitan Nasional


Di berbagai media, di tengah kesulitan hidup yang kian melilit rakyat, di tengah kemiskinan yang kian menjadi, di tengah keputus-asaan rakyat banyak yang kian membuncah, di tengah himpitan kemelaratan, di tengah pesta korupsi dan mark-up anggaran negara (baca: uang rakyat) yang dilakukan para pejabat negara, memasuki bulan Mei 2008 bangsa ini dicekoki dengan 'Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional'. Hal ini tentunya dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Jika salah satu syair dari Taufiq Ismail berjudul "Malu Aku Jadi Orang Indonesia', maka sekarang ini judul syair tersebut bertambah relevan. Betapa memalukannya sebuah bangsa yang katanya besar ternyata masih saja salah menetapkan tonggak kebangkitannya sendiri. Dan parahnya, hal ini ternyata didukung oleh tokoh-tokoh dan partai Islam yang seharusnya menjadi agen pencerahan bangsa.

Misal, sebuah partai politik Islam besar akhir April lalu memasang sebuah iklan hitam putih seperempat halaman di sebuah harian ternama nasional. Dalam iklan tersebut, partai ini dengan tanpa malu memuat 'Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional: Harapan Itu Masih Ada". Disadari atau tidak, iklan ini telah ikut meracuni pemikiran generasi muda bangsa dengan ikut-ikutan latah menyiarkan kedustaan dan kesalahan yang fatal. Padahal partai ini kebanyakan diisi oleh orang-orang muda yang katanya intelek. Namun kenyataan yang terjadi sungguh memalukan!

Sayyid Quthb di dalam "Tafsir Baru Atas Realitas" (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita "Fa Innahu Minhum" (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Situs eramuslim.com sekurangnya sudah tiga kali memuat tentang organisasi Boedhi Oetomo (BO) dan memaparkan bahwa organisasi ini sama sekali tidak berhak dijadikan tongak kebangkitan nasional karena BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan kemerdekaan, pro-penjajahan yang dilakukan Belanda, dan banyak tokohnya anggota aktif Freemasonry yang merupakan organisasi pendahulu dari Zionisme. Seharusnya, tonggak kebangkitan nasional disematkan pada momentum berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO.

Sebab itu, agar kita lagi-lagi tidak salah menganggap tahun 2008 ini sebagai Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional, maka Kami lagi-lagi menurunkan artikel terkait hal tersebut, agar kebenaran tetaplah kebenaran, dan sama sekali tidak akan goyah walau dengan alasan politis sekali pun. Sejarah adalah History, bukan His-Story!

Kongres Pertama Budi Utomo 20 Mei 1908


Penghinaan Terhadap Perjuangan Umat Islam
Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan fatal.

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul "Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa" karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: "Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!" Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

"BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya," tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. "Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, " papar KH. Firdaus AN.

Noto Soeroto juga seorang Mason

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis "Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. " Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: "Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. "

Sebuah artikel di "Suara Umum", sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah "Al-Lisan" terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, "Digul lebih utama daripada Makkah", "Buanglah Ka'bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!" (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr.. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Paku Alam VIII juga seorang anggota Freemason

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan.

Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo.

Hal ini dikemukakan dalam

o

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda