Senin, 19 Mei 2008

baca dan pelajari

Seks Juga Bentukan Sosial:

Rethinking Gender dan Seksualitas Menurut Teori Queer

Oleh Moh Yasir Alimi[1]

A. Introduksi

“Gender” mendapat sambutan besar di Indonesia. Dengan kata lain, ia sudah menjadi “industri besar” dalam sejarah ilmu sosial Indonesia kontemporer. Yang jarang diperbincangkan adalah soal seksualitas. Esensialisme seksual yang menganggap seksualitas given, tidak berubah, asosial, dan transhistoris serta menganggap heteroseksualitas adalah satu-satunya bentuk yang sah dan yang lainnya adalah penyimpanyan nyaris tidak dipertanyakan.

Sudah tiba saatnya menembus batas ideologis dan batas diskursif “seks” itu di Indonesia. Karena mempertanyakan seksualitas juga termasuk agenda penting demokratisasi.[2] Semakin mendesak lagi karena seksualitas mempunyai wilayah internal politiknya sendiri, ketidakadilan dan modus penindasan sendiri. Tidak bisa kalau hanya didekati dengan konsep-konsep politik konvensional, seperti demokrasi liberal, marxisme, dan bahkan juga feminisme. Feminisme sukses besar menjelaskan hubungan tidak adil antara laki-laki dan perempuan, tapi gagal memahami ketidakadilan yang bersumber pada seksualitas. Feminisme dianggap terlalu banyak terkonsentrasi pada gender. Kalau ada perbincangan soal seksualitas dalam feminisme biasanya adalah persoalan seksualitas yang masih dalam bingkai heteroseksualitas. Diantara yang berpandangan demikian adalah Rubin (1993).[3] Heteronormativitas, ideologi bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan seksual yang sah, tidak dipertanyakan. Sangat mendesak kebutuhan untuk membuka perdebatan dan mengembangkan perspektif yang radikal tentang seksualitas. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengintrodusir teori queer sebagai metode dekontsruksi atas seksualitas dan sekaligus atas relasi yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Tulisan ini terutama akan mengeksplorasi pemikiran Rubin, Foucault dan Butler yang dianggap sebagai kontributor penting dalam kajian seksualitas sekaligus peletak dasar teori queer.

B. Rubin, Foucault and Butler: Menuju Tafsir Sosial atas Seksualitas

Menurut Rubin, Foucault and Butler, seksualitas merupakan sebuah konstruk sosial, bukan fakta kromosomik-biologis. Mereka menggugat ortodoksi teoritik tentang seksualitas, yang seluruh prinsip-prinsipnya didasarkan pada esensialisme seksual. Yaitu paham yang menganggap seksualitas merupakan fenomena biologis, kenyataan alamiah yang melampaui kenyataan sosial. Bagi mereka, seksualitas bukan sesuatu yang tidak berubah, asosial, dan trans-historis. Seksualitas sangat terikat dengan sejarah dan perubahan sosial. Tidak bersumber pada hormon, psike dan hukum Tuhan.. Rubin, Foucault dan Butler menantang paham bahwa seksualitas adalah kekayaan pribadi, yang bersifat fisiologis dan psikologis

1. Rubin: Logosentrisme dan Heteronormativitas

Gayle Rubin, seorang antropolog feminis yang terkenal, mengikuti konsep Derrida bahwa “there is nothing out of the text”. Tidak ada sesuatu diluar teks.Yang dimaksudkan Derrida adalah bahwa tidak ada kenyataan yang berada diluar bahasa. Tidak ada kodrat atau konstruk biologis yang mendahului tanda bahasa. Misalnya, kategori laki-laki perempuan dengan semua atribut dan peran yang melekat padanya bukanlah konstruk alamiah. Melainkan adalah produk sejarah, produk representasi. Perempuan menjadi makhluk kelas dua bukan karena identitas biologis yang melekat padanya, akan tetapi adalah akibat pencitraan negatif terhadapnya baik oleh diskursus sains maupun agama.[4] Makna, menurutnya, tidak pernah hadir dalam satu tanda. “Meaning is never immediately or fully present in any one given sign.” Karena makna tanda bahasa hadir karena perbedaan tanda bahasa itu dengan yang lain. “The meaning of a sign is a matter of what the sign is not”, tegas Derrida. Baginya, makna tidak berasal dari biologi, niat pengarang atau wahyu Tuhan, melainkan adalah akibat hubungan kompleks tanda bahasa. Makna merupakan akibat dari differance.[5]

Dengan demikian halnya pula dengan tubuh dan seksualitas. Tidak ada tubuh pra-diskursif (a pre-discursive body). Tidak ada identitas, gender dan seksualitas yang mendahului wacana. Gender maupun seksualitas tidak berakar pada biologi; bukan pula kepanjangan dari seks biologis, melainkan adalah hubungan tanda bahasa. Tidak ada seksualitas yang asli, tidak ada seksualitas yang mendahului proses pemaknaan (signification). Segala sesuatu, tentu termasuk didalamnya seksualitas, dikonstruk melalui prosedur logosentris. Dalam prosedur ini, heteroseksualitas bukan didasarkan pada kualitas yang inheren melekat padanya melainkan berdasar pelabelan negatif terhadap praktek seksual lain yang non-prokreatif seperti seksualitas sesama jenis, masturbasi atau onani. Dalam logosentrisme, heterosexualitas bukan hanya dibedakan tetapi juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktek non-hetero. Tidak cukup dengan privelese itu, bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan, melalui strategi patologisasi, abnormalisasi dan kriminalisasi.

Gayle Rubin mendemonstrasikan bagaimana prosedur itu bekerja dalam ranah seksualitas. Dalam tulisannya yang sangat monumental dan banyak dikutip Thinking About Sex (1984), dia menegaskan bagaimana heteroseksualitas dinaturalisasi dan praktek seksual lainnya diabnormalisasi. Heteroseksualitas dianggap sebagai the good, the normal, the natural dan the blessed sexuality, sedangkan yang lain adalah the bad, the abnormal, the unnatural, dan the damned sexuality. Selengkapnya, Rubin (1993: 14) menulis:

...seksualitas yang dianggap “baik”, “normal”, dan “natural” secara ideal adalah yang heteroseksual, marital, monogami, reproduktif dan non-komersial. Ditambah lagi, ia juga harus berpasangan, relasional, dari satu generasi yang sama dan terjadi dalam rumah. Ia tidak melibatkan pornografi, objek fetish, alat bantu seks apapun, atau terdiri dari laki-laki dan perempuan. Seks apapun yang melanggar peraturan ini dianggap “buruk”, “abnormal” atau “tidak natural.” Seks yang buruk meliputi homoseksual, diluar perkawinan, tidak prokreatif, atau komersial. Ia dapat berupa onani, berlangsung di rumah bordil, antar generasi yang beda jauh, berlangsung di tempat “publik”, atau paling tidak di semak-semak atau di bak mandi. Praktek seks demikian biasanya melibatkan penggunaan pornografi, objek fetish atau pembagian peran yang tidak biasa.[6]

Dalam kerangka inilah, pencitraan negatif terhadap onani--yang tidak berorientasi prokreasi-- dapat dipahami. Dalam Kitab Perjanjian Lama misalnya dikisahkan dikutuknya orang yang melakukan onani. Diceritakan Kitab Kejadian, pasal 38, bahwa Onan, seorang laki-laki, diminta ayahnya, Yehuda, untuk mengawini isteri almarhum kakaknya, agar kakaknya mempunyai keturunan. Karena keberatan anak yang lahir dianggap anak kakaknya, Onan menumpahkan spermanya diluar tubuh isteri kakaknya sehingga tidak bisa hamil. Karena perbuatan ini, Tuhan murka dan Onanpun mati. Dalam ilmu sosial, terutama psikologi, psikiatri dan kedokteran, kita juga bisa menemukan banyak referensi yang menyebutkan bahayanya onani. Dari mandul, tidak cerdas, tulang keropos, tidak maskulin dan sebagainya. Singkatnya, kegiatan yang tidak berorientasi prokreasi ini berbahaya, yang oleh karenanya harus ditentang. Rubin (1992) pernah bercerita tentang Dr. J. Guerin yang punya resep unik untuk mengakhiri masturbasi pada anak perempuan. Setelah segala upaya gagal, maka anak perempuan yang masturbasi, menurut Guerin, layak dibakar klitorisnya dengan setrika.

2. Foucault: Power-Knowledge-Pleasure dan Seksualitas

Seksualitas merupakan salah satu tema besar yang paling banyak didiskusikan Foucault. Pandangannya yang brilian tentang seksualitas dapat dilihat diantaranya dalam Herculine Barbine; Being The Recently Discovered Memoirs of a Nineteenth-Century French Hermaphrodite (1979), dan trilogi sejarah seksualitasnya yang sangat terkenal; yaitu The History of Sexuality I; The Will to Know (1983), The History of Sexuality I; The Use of Pleasure (1985), dan The History of Sexuality III; The Care of the Self (1986). Dalam buku-buku ini, Foucault menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse[7] atau buah “power–knowledge[8] relations.” Foucault membongkar dan menembus kebekuan fondasi rezim heteroseksualitas yang univokal, yang dalam wacana-wacana yang dominan dianggap sebagai the norm, the logos, mathesis universalis atau the essence of human being.

Dalam buku The History of Sexuality I: Will to Knowledge, yang kemudian menjadi teks emblematik paling penting dan banyak berpengaruh tentang seksualitas, misalnya, secara luas Foucault menjelaskan bahwa “seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan pengetahuan secara bertahap.” “Seksualitas” menurutnya “adalah nama yang terbentuk secara historis; bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan adalah sebuah jaringan besar yang didalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain” (Foucault, 1998: 105-6).[9]

Secara umum, Foucault mengidentifikasi empat unitas strategis (strategic unities) yang selama ini digunakan untuk mereproduksi dan melipatgandakan diskursus tentang seksualitas: the psychiatrisation of perverse pleasure, the socialisation of procreative behaviour, the pedagogisation of children’s sex dan the hysterisation of women’s body. Ada satu strategi yang lain yang dikembangkan Foucault dalam karyanya yang lebih dulu, Herculine Barbin, yaitu diseminasi gagasan tentang keharusan manusia untuk hanya mempunyai satu identitas gender dan kelamin yang sejati-jelas (true mono-sexed human being). Lima teknik ini berasal dari kebutuhan kelas bojuis pada abad XIX untuk meningkatkan produktifitas tubuh (productivity of the body) dan keamanan spesies sosial (social species), yaitu penduduk.

Yang pertama, diseminasi gagasan tentang keharusan manusia yang hanya punya satu jenis kelamin atau seks yang jelas (true monosexed human being). Melalui ilmu kedokteran, hukum dan pengadilan ditegaskan bahwa “setiap orang harus mempunyai satu jenis kelamin yang jelas” (Foucault: 1988: viii). Bagaimana strategi ini bekerja dapat dilihat dalam drama tragis, dan perlakuan yang diterima Herculine Barbin, seorang hermaprodit Perancis pada abad XIX. Pada catatan hariannya, Barbin menulis bahwa pada kelahirannya ia diidentifikasi sebagai perempuan. Kendati demikian, setelah serangkaian pengakuan pada dokter dan pendeta, Barbin secara hukum diharuskan untuk merubah seksnya ke “laki-laki” karena karakter maskulin yang dimilikinya. Tertekan karena seksualitas dan jenis kelamin yang disyaratkan, akhirnya Barbin bunuh diri. Kasus Barbin ini menunjukkan bagaimana kedokteran, pengadilan dan hukum secara diam-diam menjadi ritus yang penting untuk ditemukannya manuasia mono-sexed dalam sejarah Barat modern. Bahwa manusia harus punya satu identitas seks dan gender yang jelas. Kalau punya anatomi laki-laki, maka harus maskulin. Dan bila punya anatomi perempuan ya harus feminin. Tidak boleh ada campur aduk keduanya. Tidak boleh ada identitas in-between.[10] Bagi Foucault ini mengejutkan hermaprodit diharuskan mempunyai a sex, a single, true sex, karena selama berabad-abad, menurutnya, “telah ada kesepakatan bahwa yang namanya hermaprodit itu punya dua” (ibid, vii).

Kedua, sosialisasi perilaku prokreatif. Berlawanan dengan diskursus seksualitas Yunani dan Roma kuno, seksualitas Barat modern abad XIX, lebih diorientasikan pada tujuan-tujuan prokreatif, bukan kesenangan (pleasure). Foucault menyebut model demikian sebagai scientia sexualis, sedangkan seksualitas Roma kuno yang berorientasi pada pleasure atau aphrodisia disebutnya sebagai ars erotica. Tujuan scientia sexualis ini adalah untuk memaksimalkan kekuatan, efisiensi, ekonomi tubuh, hubungan konjugal perkawinan dan heteroseksualitas. Dan heteroseksualitaslah dalam kerangka ini dibabtis sebagai bentuk paling sah. Kesenangan seksualitas hanya dibingkai dalam sangkar emas heteronormativitas. Tidak hanya berhenti disini, pasangan dibebani dengan tanggungjawab sosial dan medis; yaitu melindungi keluarga dari penyakit-penyakit patogenik seksualitas. Setiap kegagalan dalam upaya ini dapat berakibat pada kehancuran tubuh sosial (social body), yaitu komunitas.

Ketiga, psikiatrisasi kesenangan. Strategi ini bekerja dengan mempatologikan semua bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip “seksualitas prokreatif yang normal”. Karena itulah sex for pleasures dikutuk. Onani, masturbasi, dan homoseksualitas yang sering menjadi sumber kesenangan erotis dianggap abnormal, menyimpang, dan perlu mendapat perawatan. Alasannya adalah karena praktek-praktek seksual nonprokreatif ini memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan terhadap berbagai macam penyakit. Inilah bedanya seksualitas Barat modern dan Yunani kuno, dimana homoseksualisme, onanisme dan masturbasi tidak ditolak berdasar kategori “normal” atau “abnormal” (Foucault, 1986a: 45) melainkan berdasar kuantitasnya, yaitu tidak boleh kalau berlebihan.

Keempat, histerisasi tubuh perempuyan. Dalam strategi ini, tubuh feminin “dianalisa”, “diintegrasikan ke wilayah praktek medis karena penyakit yang melekat padanya”, dan akhirnya ditempatkan dalam “komunikasi organik dengan tubuh sosial.” Tentang hal ini, selangkapnya Foucault (1988: 104) menulis:

Tiga proses sekaligus melalui mana tubuh yang femini dianalisa—dikualifikasi dan didiskualifikasi—yang terstrukturkan dalam seksualitas; dimana ia terintegrasikan kedalam ruang praktek medis, dengan alasan patologi yang melekat padanya, dimana akhirnya ia ditempatkan dalam komunikasi organik dengan tubuh sosial (yang dimaksudkan untuk memastikan kualitasnya), ruang keluarga (yang menjadi elemen fungsional sekaligus substansional) dan kehidupan anak (yang dihasilkannya dan digaransinya atas dasar tanggung jawab biologis-moral yang tidak pernah berakhir selama pendidikan anak; ibu, dengan image negatif tentang perempuan cemas, yang membentuk histerisasi yang tampak jelas ini. [11]

Disinilah seksualitas perempuan dikonstitusikan sebagai sentral identitas mereka, mereka adalah biologi mereka dan seksualitas adalah inti dari biologi mereka itu. Dalam konteks ini, definisi tentang seksualitas diperluas. Bukan sekedar “having sex” melainkan juga meliputi pengalaman-pengalan masturbasi, kehamilan, kelahiran dan menopause. Histerisasi ini menuntut diregulasinya perempuan, menjadikan mereka sebagai objek sah dari intervensi dan kontrol psikologis dan medis. Demikianlah laki-laki dan perempuan mendapat perlakuan berbeda dari praktek diskursif.

Dan akhirnya, pedagogisasi seksualitas anak. Dalam strategi ini, praktek seksualitas anak yang “potensial bahaya” (Ibid: 104) diatur sedemikian rupa karena dikhawatirkan dapat mendatangkan “kerusakan fisik dan moral, individu dan kolektif” (Ibid: 30). Onani dan bentuk praktek seksual lainnya yang nonprokreatif diberi status baru; bahaya dan berlawanan dengan alam. Pedagogisasi the natural, safe and true sex terhadap anak, oleh karenanya menjadi instrumen signifikan dalam pelembagaan heteroseksualitas sebagai the norm. Lima strategi ini berfungsi dalam kaitan satu dengan yang lainnya bersifat interaksional dan diarahkan untuk pengaturan dan penyebaran aphrodiasia (sexual pleasure), dan enkratia (self control, resistance and combat). Akibat transformasi ini adalah; pertama, “penekanan baru dari chresis (use of pleasure) menuju epimeleia (concern for self)” dan kedua bentuk-bentuk pelatihan yang langsung diberikan pada “self-knowledge”(Mc Houl and Grace, l993: 106).

Praktek diskursif lain yang penting dalam institusionalisasi heteroseksualitas yang diidentifikasi Foucault adalah “konfesi”. “Konfesi” pada awalnya adalah praktek pengakuan dosa seorang jamaah kepada pendeta yang biasa dipraktekkan di gereja. Dalam praktek ini, jamaah mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sebagai bentuk pertobatan, sedangkan pendeta dengan suara yang otoritatif memberikan nasehat dan memberikan ampunan. Dalam pemikiran Foucault, “konfesi”lah yang dianggap sebagai basis pembentukan dan pengaturan seksualitas. Yang lebih menarik lagi adalah penegasan Foucault bahwa psikoanalisa merupakan metamorfose “konfesi” itu. Bisa demikian karena psikoanalisa, seperti halnya konfesi pada gereja, digunakan untuk membongkar kesenangan-kesenangan tersembunyi (the hidden pleasures), ekses-ekses tubuh yang berbahaya (dangerous excesses of the body, secret fantasies); hakekat personal manuasia (the very personal essence of human being), inti identitas personal (the core of personal identity) dan kebenaran tentang diri (the truth of self). [12]

Melalui strategi diskursif inilah heteroseksualitas, bentuk seksualitas yang berorientasi prokreasi, diinternalisasi, dinaturalisasi, sedangkan bentuk lain dipatologikan dan diabnormalkan. Seolah-olah heteronormativitas adalah satu-satunya formasi seksual yang mengatur kehidupan manusia, kapanpun dan dimanapun. Tentu saja, ini menyembunyikan realitas dan relativitas kompleks dibalik seksualitas. Relativitas itu misalnya dapat kita lihat dalam praktek masyarakat adat Papua Nugini. Dalam buku The Guardian of the Flutes yang sangat terkenal, Gilbert Herdt menceritakan bagaimana masyarakat adat mewajibkan homoseksualitas sebagai bagian dari upacara untuk membuktikan maskulinitas.

3. Judith Butler: Heterosexual Matrix versus Performativity

“Selebritis” lain yang mengubah pemahaman dunia tentang seksualitas adalah Judith Butler. Butler mengembangkan theory of performativity diawal tahun 90-an melalui karya monumentalnya Gender Trouble dan Bodies That Matter. Butler menegaskan bahwa gender atau seksualitas adalah “struktur imitatif, atau akibat proses imitasi, pengulang-ulangan dan performativitas.” Konsep “performativitas” memang sentral dalam pemikiran Butler. Butler meminjam konsep ini dari teori sastra yang mangkategorikan makna menjadi dua; yaitu konstantif dan performatif. Makna konstantif adalah berita atau ekspresi, sedangkan perfomatif adalah makna yang membentuk kenyataan. Penegasan “saya laki-laki” disamping bersifat ekspresif, yaitu “memberitahukan bahwa jenis kelamin saya laki-laki,” juga bersifat performatif, yaitu “saya laki-laki, oleh karena itu juga harus bertindak dengan norma-norma laki-laki.” Jadi, ada efek konstitutif, pembentuk kenyataan, dalam performativitas ini.

Menurut Butler, tidak ada identitas gender dibalik ekspresi gender. Identitas dibentuk secara performatif; diulang-ulang hingga tercapai “identitas yang asli”(Butler, 1999: 25). Identitas terbentuk secara performatif melalui berbagai ekspresi itu yang selama ini dianggap sebagai hasilnya. Bagi Butler, gender atau seksualitas itu seperti drag, yaitu lomba kecantikan yang dilakukan para waria untuk membuktikan bahwa mereka adalah wanita yang sempurna. Para kontestan yang secara anatomis laki-laki, itu betul-betul telah menjadi perempuan; tubuh yang langsing, kulit yang halus, wajah yang cantik dan sebagainya. “Realness” atau kebenaran tentang gender, identitas dan seksualitas diproduksi dan direproduksi melalui serangkaian tindakan, gestur dan hasrat yang diartikulasikan dan dilaksanakan sehinggamenciptakan ilusi tentang adanya inti gender yang asli dan alamiah ( the illusion of an interior and organizing gender core)” (Ibid. 136).

Demikian juga heteroseksualitas. Bentuk seksualitas ini direproduksi dan dinaturalkan dengan imitasi yang berulang-ulang (reiterative imitations), yang beroperasi melalui devaluasi, stigmatisasi dan abnormalisasi praktek seksual lainnya karena statusnya yang selalu terancam. Butler menulis:

Imitasi merupakan inti proyek heteroseksual dan binerisme gendernya, bahwa drag bukanlah imitasi sekunder yang mengasumsikan sebuah gender yang asli, melainkan heteroseksualitas yang hegemonik itu sendiri adalah upaya yang konstan dan berulang-ulang untuk menyerupai yang diidealkan. Bahwa imitasi ini harus diulang-ulang, diproduksinya praktek-praktek yang mempatologikan dan sains yang menormalkan secara besar-besaran untuk menghasilkan dan membuktikan klaimnya tentang originalitas dan kelayakan, menegaskan bahwa performativitas heteroseksual yang sempurna itu selalu dalam ancaman dan tidak pernah dapat dicapai, bahwa upayanya untuk menjadi idealisasinya tidak pernah bisa dicapai, dan ia selalu dihantui wilayah kemungkinan seksual yang harus dikeluarkan dari norma gender heteroseksual untuk menghasilkannya .[13]

Gestur, tindakan dan gerak tubuh yang lain bukan sekedar ekspresif, tapi juga konstitutif. Dengan demikian, yang selama ini kita anggap sebagai esensi adalah akibat dari kegiatan tubuh dan alat diskursif lainnya.[14] Alat diksursif yang lain dapat berupa “konfesi” (Foucault, 1978), film (de Lauretis, 1987), makanan dan kegiatan makan (Kear, 1997), sekolah (Epstein, 1994) dan praktek-praktek tubuh seperti mouthrules atau aturan mulut ( Thorogood: 2000). Mouthrules atau apa yang kita lakukan dan apa yang tidak kita lakukan, dengan mulut kita, dapat membentuk kontur seksualitas dan gender melalui gagasan tentang keintiman. Mengidentifikasi perbedaan dan persamaan antara lesbian dan perempuan heteroseks dalam “mouthrules”, Thorogood menegaskan bahwa “technology of the mouth” adalah salah satu praktek dimana seksualitas dikonstruk.

Seks juga Bentukan Sosial

Butler mengidentifikaksi beberapa integritas struktural (structural integrities) yang selama ini digunakan untuk mengabadikan, dan mengalamiahkan heteroseksualitas. Diantaranya adalah “materialitas sex”” dan “keharusan koherensi antara gender dan identitas seksualitas.

Apa yang dimaksudkan Butler dengan materialitas seks? Untuk menjelaskan konsepnya ini, Butler melakukan dekonstruksi terhadap pengertian gender dan seks yang dipikirkan feminisme. Dalam diskursus-diskursus feminis, ditegaskan bahwa gender adalah konstruksi sosial, sedangkan “sex” adalah sebuah fenomena biologis yang tidak bisa diubah. Cara pandang seperti itu, menurut Butler, mengasumsikan materialitas “seks”, yaitu ide bahwa seks adalah konstruk yang berada diluar sejarah-pemikiran-bahasa. Bagi Butler, seks bukanlah "a bodily given on which the construct of gender is artificially imposed”, melainkan adalah “ a cultural norm which governs the materialization of bodies". Baginya seks adalah "kontruk ideal yang termaterialisasikan secara paksa melalui waktu. Ia bukan sekedar fakta sederhana atau kondisi tubuh yang statis melainkan adalah “a process whereby regulatory norms materialize 'sex' and achieve this materialization through a forcible reiteration of those norms". “Sex,” tegasnya, adalah “a regulatory ideal whose materialization is compelled”, dan materialisasi ini berlangsung melalui praktek pendisiplin yang sangat canggih dan laten.” (Butler, 1993: xiii). Pengulangan ini menurutnya penting sebagai tanda “bahwa materialisasi itu tidak pernah selesai. Bahwa tubuh tidak pernah dapat 100 persen sesuai norma yang mengharuskan normalisasi itu.” [15]

Melalui dekonstruksi terhadap “sex” dan mendemonstrasikan batas diskursifnya, Butler bermaksud mengusung konsep “termaterialisasikannya tubuh (the materialization of the body)” melampuai konsep “terkonstruksinya seksualitas (the construction of sexuality)” sebagaimana dipikirkan Foucault. Tubuh ini, menurutnya, bukan sekedar plat yang kemudian diatasnya dibentuk gender dan seksualitas. Dua unsur itu dimaterialkan menjadi tubuh. Model gender-sexuality construction menurutnya mengimplikasikan sebuah kultur atau agensi sosial yang diukir pada sebuah natur, yang dianggap sebagai permukaan pasif, berada diluar sejarah sosial. Butler menulis “a culture or agency of the social which acts upon a nature, which is itself presupposed as a passive surface, outside the social and yet its necessary counterpart” (Butler, 1993: 4).

Kedua, Butler menyerang koherensi yang harus antara identitas gender dan identitas seksual. Dalam diskursus dominan, setiap orang diharuskan punya satu identitas gender yang jelas, tanpa friksi, yang memerlukan koherensi yang harus antara the inside dan outside, antara genital (the inside) dan gender (pakaian, peran, dan identitas)—the outside. Koherensi ini selama ini telah digunakan sebagai dasar untuk menentukan normal dan abnormalnya seseorang. Bahwa penis tidak punya pilihan lain selain maskulinitas, dan sebaliknya vagina tidak punya pilihan selain femininitas.

Disinilah, seperti gagasan Foucault tentang “histerisasi tubuh perempuan”, Butler menegaskan bahwa gender dan seksualitas saling berkaitan dan saling overlap satu sama lain secara serius. Secara bersama-sama, gender dan seksualitas berinteraksi untuk menentukan isi dan batas maskulinitas dan feminitas, dan juga membentuk relasi gender dengan menetapkan kondisi dimana orang dengan beragam gender berinteraksi. Pada awalnya mempunyai preferensi seksual memerlukan produksi sosial gender sebagai kategori yang bermakna karena seksualitas sangat terikat dengan proses diferensiasi gender. Kita tidak memilih pasangan hanya karena pertimbangan seks anatomis mereka saja, kita cenderung memahami seks anatomis itu sebagai pembawa makna sosial dan kultural yang terkait sebagai pemilik tubuh laki-laki atau perempuan. Kecenderungan bahwa orang akan membentuk hubungan heteroseksual terletak pada konstruksi sosial praktek dan kategori gender yang hirarkis dan dikotomis (Rubin, 1975: 178; Butler, 1990: 17). Ketika perbedaan dierotiskan, maka heteroseksualitaspun menjadi daya tarik bagi jenis kelamin yang berbeda (Connel, 1987: 246). Diantara letak keterkaitan gender dan seksualitas adalah dibangunnya batas disekitar tindakan dan identitas gender dengan mobilisasi/labelisasi homoseksual (Connell, 1987; Steinberg et. Al., 1997).

C. Kesimpulan dan Kritik

Dari diskusi dan eksplorasi teoretik secara singkat diatas dapat diambil kesimpulan. Pertama, seksualitas adalah konstruk sosial, akibat dari “representasi” (Derrida), “praktek diskursif” (Foucault), dan “performativitas” (Butler). Kendati ada persamaan, ada perbedaan mendasar dalam tiga konsep yang didiskusikan itu. Dibanding Foucault, Butler memberi tempat yang besar pada fungsi subjek dan penekanannya pada materialisasi seks. Subjek tidak hanya dikonstruk melainkan juga mengkonstruk. Butler juga mendiskusikan seksualitas dan gender sekaligus, yang tidak dilakukan Foucault. Kedua, gender dan seksualitas saling berhubungan secara kompleks. Gender dan seksualitas menentukan batas-batas apa yang bisa disebut sebagai maskulin dan feminin, juga menentukan norma-norma pergaulan antar gender yang berbeda-beda dan pada gilirannya meneguhkan patriarki dan heteronormativitas.

Disamping ketajaman analisis melihat konstruksi sosial seksualitas, pendekatan yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran poststrukturalis ini juga tidak bebas kritik. Teori mereka dianggap melakukan aestetisasi atau tekstualisasi ketidakadilan gender/seksualitas. Ketertindasan gender atau seksualitas lebih dipahami sebagai ketertindasan secara ideologis dan representasi, daripada kondisi material penindasan itu. Materialitas ideologi juga materialitas diluar representasi dikesampingkan. Oleh karena itu pendekatan ini memunculkan persoalan yang berkaitan dengan agensi dan politik identitas. Butler dianggap semakin serius dengan menegasikan agensi. Agensi sangat diperlukan politik feminisme yang membebaskan. Tentu saja ketiga pemikir diatas mempunyai jawaban atas kritik berkaitan dengan agensi dan identititas politik seperti itu yang bisa kita diskusikan dilain waktu.

Bibliography

Butler, Judith (1999) Gender Trouble, Feminism and the Subversion of Identity, London: Routledge.

-----------------(1993) Bodies that Matter, On the Discursive Limits of sex, London: Routledge.

-----------------(1991) Immitation and Gender Insubordination in Fuss, Diana(ed.)(1991) Inside/Out: Lesbian Theories, Gay Theories. London: Routledge.

---------------- and Joan W. Scott(eds.)(1992) Feminists theorize the political, New York : Routledge

Michel Foucault (1980) Herculine Barbine; Being The Recently Discovered Memoirs of a Nineteenth-Century French Hermaphrodite, Sussex: The Harvester Press

--------------------- (1997) Discipline and Punish: The Birth of The Prison, London: AllenLane

----------------------(1988) The History of Sexuality I, Middlesex: Penguin

----------------------(1986) The History of Sexuality II, Middlesex, Penguin

----------------------(1986) The History of Sexuality III, Middlesex, Penguin

McHoul, Alec and Wendy Grace (1993) A Foucault Primer: Discourse, Power and The Subject, Melbourne: Melbourne University

Weedon, Chris (1998) Feminist Practice and Poststructuralist Theory, Monash; Monash University Press



[1] Moh Yasir Alimi adalah penulis Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama (Yogyakarta: LKIS, 2004) dan Jenis Kelamin Bangsa: Lintas Batas Tafsir Agama (Yogyakarta: KLIK, 2001). Penulis dapat dihubungi melalui yasir@cbn.net.id

[2] Seksualitas adalah tema perdebatan yang sensitif, misterius dan konstroversial selama berabad-abad. Oleh karena itu, selain baru, membincangkan soal seksualitas di ruang publik juga penuh tantangan. Apalagi selama masa transisi politik dan krisis ekonomi yang serius dewasa ini, seksualitas bagi banyak orang dianggap sebagai topik pembicaraan yang tidak penting, atau bahkan penyelewengan dari debat-debat serius seperti kemiskinan, krisis ekonomi, pendidikan politik, konflik etnik, disintegrasi, korupsi, kekerasan berbasis agama, privatisasi, liberalisasi atau tema-tema debat lainnya. Kendati demikian, masa transisi dapat dipahami sebagai titik tolak untuk memahami dan mengkonsolidasikan gagasan demokrasi secara menyeluruh. Dua langkah penting untuk agenda semacam itu adalah konstruksi nilai-nilai dan sistem pengetahuan yang selama ini menjadi dasar ketidakadilan sosial, dan berikutnya peletakan nilai-nilai sipil seperti toleransi, keadilan, akuntabilitas, nonkekerasan dan nilai-nilai lainnya yang fundamental bagi terwujudnya demokrasi yang ideal.

[3] Kritik terhadap feminisme juga ditegaskan para pemikir dari tradisi postkolonial seperti Gayatri Spivak, Talpade Mohanty dan sebagainya. Teks-teks dan praktek politik feminis, menurut Mohanty (1984), sering ditandai batas ideologis yaitu menggambarkan “perempuan” sebagai sebuah kategori yang monolitik, an always-already constituted group. Seolah-olah semua perempuan mengalami nasib sama. Padahal, perempuan adalah kategori dan hirarki yang sangat kompleks, baik karena kelas, usia, seksualitas, identitas dan peran gender, suku, warna kulit, Dunia Ketiga dan sebagainya. Mohanty menulis: “The assumption of women as an already constituted, coherent group with identical interest and desires, regardless of class, ethnic or racial locations or contradictions, implies a notion of gender or sexual difference or even patriarchy (as male dominance—men as a correspondingly coherent group (which can be applied universally and cross-culturally.”

Penempatan “perempuan” sebagai “kategori universal” disatu sisi memang memberdayakan untuk politik emansipasi feminis, akan tetapi disisi lain juga membatasi, menyembunyikan dan—menurut Mohanty-- “menindas” kompleksitas, heterogenitas dan konflik yang menandai hidup dan identitas perempuan. Kategorisasi yang demikian itu, masih menurut Mohanty, juga menyembunyikan bahwa feminisme dalam konteks relasi Timur-Barat juga bisa menjadi alat untuk mereproduksi eurosentrisme; yaitu sikap ideologis bahwa Barat adalah norma universal yang mengatur sejarah. Disinilah, para feminis postkolonial beranggapan bahwa perempuan bukan hanya tertindas karena patriarki saja, tapi juga pada saat yang sama; imperialisme, nasionalisme, rasisme, patriarki dan heteronormativitas yang saling tumpang tindih secara kompleks. Karena itulah, kajian tentang seksualitas secara radikal dapat membantu memahami difference yang terdapat pada realitas perempuan.

[4] Dari sains misalnya adalah pernyataan Darwin, sang penggagas teori evolusi, bahwa ukuran otak lebih kecil, maka perempuan kalah cerdas dibanding laki-laki. Atau juga pernyataan Immanuel Kant dalam magnum opusnya Critique of Critical Reason yang menegaskan bahwa laki-laki pada dasarnya bodoh, tapi bisa dididik (educatable). Sedangkan perempuan bodoh, tapi tidak bisa dididik (uneducatable). Dalam diskursus agama, perempuan juga disebut rendah intelektualitas dan keimanannya. Singkatnya, model representasi demikian itu bukanlah cerita yang menggambarkan kenyataan sebenarnya, melainkan adalah konstruk ideologis yang menentukan relasi perempuan dan laki-laki. Akibat representasi yang demikian itu adalah subordinasi dan marginalisasi perempuan.

[5] Marilah kita kutip penjelasan Derrida tentang konsepnya ini: “Permainan differance meliputi sintesis dan referral (renvoi), yang menginspirasikan bahwa tidak ada elemen yang hadir begitu saja, dan menunjuk padanya. Baik ditulis atau diutarakan, tidak ada satu elemenpun yang berfungsi sebagai tanda yang tidak membutuhkan tanda lain. Hubungan antar tanda ini menunjukkan bahwa setiap elemen—fonem atau grafem—terbentuk dalam kaitannya dengan tanda atau elemen lain. Tidak ada sesuatupun, baik elemen atau sistem, yang hadir atau lenyap begitu saja. (Derrida, 1981: 27)

The play of differances involves syntheses and referrals [renvois], which prevent there from being at any moment or in any way a simple element, which is present in and of itself and refers only to itself. Whether in written or spoken discourse, no element can function as a sign without relating to another element which itself is not simply present. This linkage means that each ‘element’ – phoneme or grapheme – is constituted with reference to the trace in it of the other elements of the sequence or system. Nothing, in either the elements or the system, is anywhere ever simply present or absent

[6]Sexuality that is “good,” “normal,” and “natural” should ideally be heterosexual, marital, monogamous, reproductive and non-commercial. It should be coupled, relational, within the same generation and occur at home. It should not involve pornography, fetish objects, sex toys of any sort, or roles other than male and female. Any sex that validates this rules is “bad,” “abnormal,” or “unnatural.” Bad sex may be homosexual unmarried, promiscuous, non-procreative, or commercial. It may be masturbatory or take place at orgies, may be casual, may cross generational lines, and may take place in “public,” or at least in the bushes or the baths. It may involve the use of pornography, fetish objects or unusual roles.

[7] Discourse, yang cukup sentral dalam pemikiran Foucault, adalah tempat bertemunya pengetahuan dan kuasa. Kuasa memproduksi pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan memproduksi power. Sangat tidak mungkin membayangkan pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya. Berbeda dengan kalimat (sentence), ujaran (speech act), atau komunikasi interaksional (interactional communication), discourse mempunyai system fungsi (functioning system). Diantaranya memproduksi kuasa, kebenaran dan pengetahuan; memerintah subjek dan merubahnya menjadi tubuh yang patuh (docile body). Chris Weedon ( l998; l08) juga memperjelas apa yang dimaksud Foucault dengan discourse. Menurutnya, discourse adalah;

..ways of constituting knowledge, together with the social practices, forms of subjectivity and power relations, which inhere in such knowledge, and the relations between them. Discourses are more than ways of thinking and producing meaning. They constitute the nature of the body, unconscious and conscious mind and emotional life of the subjects, which they seek to govern. Neither the body nor thoughts and feelings have meanings outside their discursive articulation, but the ways in which discourse constitutes the minds and body of the individuals is always part of network of power relations, often with institutional bases. (Weedon, l998; l08).

[8] Power adalah konsep Foucault yang cukup penting dalam menjelaskan seksualitas. Kendati demikian, yang dimaksudkan Foucault jauh dari power yang didefinikan ilmu politik. Kuasa menurut Foucault tidak bersifat negatif (repressive) atau hirarkis (terletak pada aparat-apat negara) sebagaimana dikonseptualisasikan marxisme. Power dengan demikian tidak menindas, melainkah produktif. Ia tidak berfungsi melalui hukuman atau memenjarakan tubuh, akan tetapi malah menambah kegunaannya dan memaksimalkan kekuatannya. Power bersifat membatasi tapi juga membebaskan. Foucault menunjukkan bentuk power semacam itu dan diskursus tentang seksualitas dan bagaimana ia berpengaruh pada pembentukan manusia,

….the channel it takes and discourses it permeates in order to reach the most tenuous and individual modes of behaviour, the path that gives it access to the rare or perceivable forms of desire, how it penetrates and control everyday pleasure—all this entailing effects that may be those of refusal, blockage and invalidation, but also of incitement and intensification: in short the polymorphous techniques of power’. (Foucault: l981; 11)

[9] Sexuality must not be thought of as a kind of natural given which power tries to hold in check, or as an obscure domain which knowledge tries gradually to uncover. It is the name that can be given to a historical construct: not a furtive reality that is difficult to grasp, but a great surface network in which the stimulation of bodies, the intensification of pleasures, the incitement to discourse, the formation of special knowledge, the strengthening of controls and resistances, are linked to one another

[10] Foucault menulis:” Teori-teori biologis tentang seksualitas, konsepsi juridis tentang individu, bentuk-bentuk kontrol administratif dalam bangsa modern, secara perlahan-lahan menolak ide tentang campurnya dua jenis kelamin dalam satu tubuh, dan akibatnya membatasi kebebasan individu untum membuat pilihan. Oleh karena itu, setiap orang wajib mempunyai satu seks saja. Setiap orang diharuskan mempunyai identitas seksual yang pokok, jelas dan meyakinkan.” (Foucault: 1980: viii)

Biological theories of sexuality, juridical conceptions of the individual, forms of administrative control in modern nations, led little by little to rejecting the idea of mixture of the two sexes in a single body, and consequently to limiting the free choice of indeterminate individual. Henceforth, everybody was to have one and only one sex. Everybody was to have his or her primary, profound, determined and determining sexual identity.

[11] A three fold process whereby the feminine body was analysed—qualified and disqualified—as being thoroughly saturated with sexuality; whereby it was integrated into the sphere of medical practices, by reason of a pathology intrinsic to it; whereby, finally, it was placed in organic communication with the social body (whose regulated fecundity it was supposed to ensure), the family space (of which it had to be substantial and functional element), and the life of children (which it produced and had to guarantee, by virtue of biologico-moral responsibility lasting through the entire period of children’s education): the Mother, with her negative image of nervous women, constituted the most visible form of this hysterisation.

[12] Dari contoh psikoanalisa itu, kita dapat mengambil sikap pemikiran bahwa masyarakat Barat modern telah merubah dan mentransformasikan konfesi dari sekedar “sebuah ritus keagamaan” (religious ritual) menjadi “teknik” dan “kekuatan penggerak (the moving force)” dalam produksi ideologis kebenaran tentang seksualitas. Bahkan, konfesi telah menjadi demikian luas dan dimana-mana. Ia tidak hanya menjadi milik gereja, tetapi juga psikologi, psikiatri dan ilmu kedokteran. Contoh yang paling sederhana adalah “buku harian”. Dalam “buku harian” kita bisa melihat bagaimana “konfesi” ini berlangsung. Kita mencatat apa-apa yang kita anggap bagian penting dan mendasar bagi kita. Apa sebenarnya kita? Siapa sebenarnya kita? Apa yang sebenar-benarnya kita rasakan dan pikirkan semua dituangkan dalam buku harian. Benar kata Foucault, untuk mengetahui kebenaran tentang diri, seseorang perlu ber-confess. Dari sinilah Foucault (1988: 59) berkesimpulan bahwa kita telah menjadi “confessing society” yang luar biasa. Seakan-akan, konfesi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan modern. Selengkapnya, Foucault (1988: 59) menulis; “Karena itulah kita telah menjadi masyarakat berkonfesi yang luar biasa. Konfesi telah menyebar begitu jauh dan luas. Ia bermain dalam wilayah sistem hukum, kedokteran, pendidikan, hubungan keluarga, hubungan cinta, kehidupan sehari-hari, dalam sebagian besar upacara, kejahatan, dosa, pemikiran dan nafsu. Dari masalah sampai jenis penyakit semuanya dikonfesikan.

[13] Imitation is at the heart of the heterosexual project and its gender bynarisms, that drag is not a secondary imitation that presupposes a prior and original gender, but that hegemonic heterosexuality is itself a constant and repeated effort to imitate its own idealization. That it must repeat this imitation, that it sets up pathologising practices and normalising sciences in order to produce and consecrate its own claim on originality and propriety, suggest that heterosexual performativity is beset by an anxiety that it can never fully overcome, that its effort to become its own idealization can never be fully achieved, and that it is consistently haunted by that domain of sexual possibility that must be excluded for heterosexualised gender to produce itself.(Butler, 1993: 125 )

[14] “that the essence of identity that they otherwise purport to express becomes fabrication manufactured and sustained through corporeal signs and other discursive means” (Butler, 1990b: 336)

[15] It is not simple fact or static condition of a body, but a process whereby regulatory norms materialise “sex” and achieve this materialization through a forcible reiteration of those norms. That this reiteration is necessary is a sign that materialization is never quite complete, that body never quite comply with the norms by which their materialization is impelled (Butler, 1993: xiv).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda